Rabu, 11 Juli 2012

Ikan Mas (Cyprinus caprio ) sebagai kontrol

Ikan Mas (Cyprinus caprio ) sebagai kontrol pencemaran lingkungan.
Toksisitas yaitu kemampuan suatu bahan yang dapat menyebabkan kerusakan organ – organ tertentu pada tubuh, baik bagian dalam maupun permukaan tubuh hewan (Durham 1975). Penentuan toksisitas dapat ditentukan dengan melakukan bio assay (uji hayati). Menurut Rand (1980), toksisitas terhadap organisme akuatik umumnya dinyatakan sebagai konsentrasi letal (Lethal Consentration), yang menunjukan prosentase mortalitas hewan uji pada konsentrasi yang diberikan.
Toksisitas suatu bahan kimia terhadap ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain suhu, kadar oksigen terlarut, derajat keasaman, spesies, umur dan derajat aklimatisasi ikan serta efek-efek langsung bahan pencemar terhadap sifat air (Arianti 2002). Sedangkan toksisitas akut yaitu daya racun suatu senyawa yang dapat mengakibatkan kematian dalam waktu singkat.
Pada lingkungan perairan, uji toksisitas akut dilaksanakan untuk mengestimasi konsentrasi medium letal (LC50) suatu bahan kimia dalam air, yaitu perkiraan konsentrasi bahan kimia yang menghasilkan efek mortalitas 50 % populasi jumlah hewan uji yang diuji pada kondisis tetap. Dengan penetapan nilai LC akut dan LC50 untuk parameter-parameter dalam air, maka ikan Mas dapat digunakan sebagai Early Warning System dalam pemantauan kulaitas air baku.
Early Warning System ini salah satunya secara biologis dengan menggunakan ikan Mas (Cyprinus caprio L.). Ikan Mas layak digunakan sebagai indicator biologis karena memenuhi syarat yang ditetapkan American Public Health Association (APHA), antara lain :
1. Organisme harus sensitf terhadap material racun dan perubahan lingkungan.
2. Penyebarannya luas dan mudah didapat dalam jumlah yang banyak.
3. Mempunyai arti ekonomis, rekreasi dan kepentingan ekologi baik secara daerah maupun nasional.
4. Mudah dipelihara dalam laboratorium.
5. Mempunyai kondisi yang baik, bebas dari penyakit dan parasit.
6. Sesuai untuk kepentingan uji hayati
Klasifikasi Ikan Mas menurut saanin (1984) adalah sebagai berikut :
Filum : Chodata
Kelas : Pisces
Sub Kelas : Teleostei
Ordo : Ostariophysi
Sub Ordo : Cyprinoidea
Famili : Cyprinidea
Genus : Cyprinus
Spesies : Cyprinus caprio L

Ikan Mas adalah salah satu jenis ikan peliharaan yang penting sejak dahulu hingga sekarang. Daerah yang sesuai untuk mengusahakan pemeliharaan ikan ini yaitu daerah yang berada antara 150 – 600 meter di atas permukaan laut, pH perairan berkisar antara 7-8 dan suhu optimum 20-25 oC. Ikan Mas hidup di tempat-tempat yang dangkal dengan arus air yang tidak deras, baik di sungai danau maupun di genangan air lainnya ( Asmawi, 1986).
Ikan Mas mempunyai ciri-ciri badan memanjang, agak pipih, lipatan mulut dengan bibir yang halus, dua pasang kumis (babels), ukuran dan warna badan sangat beragam (Sumantadinata, 1983). Ikan Mas dikenal sebagai ikan pemakan segala (omnivora) yang antaralain memakan serangga kecil, siput cacing, sampah dapur, potongan ikan, dan lain-lain (Asmawi,1986).
Ikan Mas (Cyprinus carpio L.) dapat digunakan sebagai hewan uji hayati karena sangat peka terhadap perubahan lingkungan (Brinley cit. Sudarmadi, 1993). Di Indonesia ikan yang termasuk famili Cyprinidae ini termasuk ikan yang populer dan paling banyak dipelihara rakyat, serta mempunyai nilai ekonomis. Ikan mas sangat peka terhadap faktor lingkungan pada umur lebih kurang tiga bulan dengan ukuran 8 – 12 cm. Disamping itu ikan mas di kolam biasa (Stagnan water) kecepatan tumbuh 3 cm setiap bulannya (Arsyad dan Hadirini cit. Sudarmadi, 1993).
Hal – hal yang dapat mempengaruhi ikan mas (Cyprinus carpio L.) dalam fungsinya sebagai Early Warning System adalah sebagai berikut :
ü  Suhu
Suhu mempengaruhi aktifitas ikan, seperti pernapasan, pertumbuhan dan reproduksi (Huet, 1970 dalam Lelono, 1986). Suhu air sangat berkaitan erat dengan konsentrasi oksigen terlarut dan laju konsumsi oksigen hewan air. Pada perairan umum semakin bertambah kedalaman air maka suhu semakin semakin menurun (Ahmad dkk, 1998).
ü  pH
Toksisitas suatu senyawa kimia dipengaruhi oleh derajat keasaman suatu media. Nilai pH penting untuk menentukan nilai guna suatu perairan. Batas toleransi organisme air terhadap pH adalah bervariasi tergantung suhu, kadar oksigen terlarut, adanya ion dan kation, serta siklus hidup organisme tersebut (Pescond, 1973). Sedang titik batsas kematian organisme air tehadap pH adalah pH 4 dan pH 11. (Caborese, 1969 dalam Boyd, 1988).
Tabel Pengaruh kisaran pH terhadap ikan
Kisaran pH
Pengaruh Terhadap Ikan
< 4
Titik kematian pada kondisi asam
4 – 5
Tidak bereproduksi
5 – 6.5
Pertumbuhan lambat
6.5 – 9
Sesuai untuk reproduksi
> 11
Titik kematian pada kondisi basa
Sumber : Boyd (1990)
ü  DO (Dissolved Oxigen)
DO merupakan perubahan mutu air paling penting bagi organisme air, pada konsentrasi lebih rendah dari 50% konsentrasi jenuh, tekanan parsial oksigen dalam air kurang kuat untuk mempenetrasi lamela, akibatnya ikan akan mati lemas (Ahmad dkk,1998). Kandungan DO di kolam tergantung pada suhu, banyaknya bahan organik, dan banyaknya vegetasi akuatik (Huet, 1970 dalam Lelono, 1986).
ü  Amoniak (NH3-N)
Sumber utama amoniak adalah bahan organik dalam bentuk sisa pakan, kotoran ikan, maupun dalam bentuk plankton dan bahan organik tersuspensi. Pembusukan bahan organik terutama yang banyak mengandung protein menghasilkan amonium (NH4+) dan amoniak.
Bila proses dilanjutkan dari proses pembusukan (nitrifikasi) tidak berjalan lancar maka terjadi penumpukan amoniak sampai pada konentrasi yang membahayakan bagi ikan. Didalam perairan NH3 terdapat dalam bentuk terionisasi dan tidak terionisasi (Boyd, 1982). Amoniak tidak terionisasi toksik terhadap ikan dan ketoksikannya meningkat ketika kandungan DO rendah (Markens dan Downing, 1958 dalam Boyd, 1990).
ü  Karbondioksida (CO2)
Karbondioksida bersumber dari hasil proses fotosintesis atau difusi dari udara dan hasil dari proses respirasi organisme akuatik. Di dasar perairan karbondioksida juga dihasilkan oleh proses dekomposisi. Karbondioksida sebesar 10 mg/L atau lebih masih dapat ditolerir oleh ikan bila kandungan oksigen di perairan cukup tinggi. Kebanyakan spesies biota akuatik masih dapat hidup pada perairan yang memiliki kandungan karbondioksida bebas lebih dari 60 mg/L). Ketika kandungan oksigen perairan rendah, proses fotosintesis berjalan lambat, sehingga karbondioksida banyak dilepaskan oleh proses respirasi biota akuatik dan yang tidak terserap oleh phytoplankton (Boyd, 1982).

Daftar pustaka
Chahaya, Ir. Indra S., Msi. 2003. Ikan Sebagai Alat Monitor Pencemaran, Suatu Makalah Ilmiah. Medan : USU digital library
Mulyaningsih, Arini. 2004. Toksisitas Akut Endosulfan terhadap Ikan Mas (Cyprinus Caprio L) pada Air Sawah, Air Sungai, dan Air Kolam di Sindang Barang, Skripsi. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Rohaedi,Edi. 2002. Toksisitas Air Waduk Saguling terhadap Benih Ikan Mas (Cyprinus caprio), Benih Ikan Nila (Oreochromis sp) dan Benih Ikan Patin (Pangasius Hypopthalmus), Skripsi. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Suriawiria, Drs. Unus. 1993. Mikrobiologi Air dan Dasar-Dasar Pengolahan Buangan Secara Biologis. Bandung : Penerbit ALUMNI

Senin, 09 Juli 2012

pengolahan limbah laundry dengan sistem elektrokoagulasi dan kombinasi media filter oleh mariyanti TPL 06


. PE

I. PENDAHULUAN
1.1.   Latar Belakang
Deterjen merupakan hasil kemajuan teknologi yang memanfaatkan bahan kimia dari hasil samping penyulingan minyak bumi, ditambah dengan bahan kimia lainnya seperti fosfat, silikat, bahan pewarna dan bahan pewangi. Sekitar tahun 1960-an, deterjen generasi awal muncul menggunakan bahan kimia pengaktif permukaan (surfaktan) Alkyl Benzene Sulfonat (ABS) yang mampu menghasilkan busa. Namun karena sifat ABS yang sulit diurai oleh mikroorganisme di permukaan tanah, akhirnya digantikan dengan senyawa Linier Alkyl Sulfonat (LAS) yang diyakini relatif lebih akrab dengan lingkungan.
Pada banyak negara di dunia penggunaan ABS telah dilarang dan diganti dengan LAS. Sedangkan di Indonesia, peraturan mengenai larangan penggunaan ABS belum ada. Beberapa alasan masih digunakannya ABS dalam produk deterjen, antara lain karena harganya murah, kestabilannya dalam bentuk krim/pasta dan busanya melimpah. Busa yang terlalu banyak bukan berarti deterjen menjadi lebih efektif, malah sebaliknya daya cuci menjadi terhambat. Selain itu keberadaan busa-busa di permukaan badan air menjadi salah satu penyebab kontak udara dan air terbatas sehingga menurunkan oksigen terlarut. Dengan demikian akan menyebabkan organisme air kekurangan oksigen dan dapat menyebabkan kematian (http://www.forumsain.com).
Saat ini deterjen banyak digunakan pada usaha jasa laundry selain aktivitas domestik. Berdasarkan hasil survei di Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru terdapat lebih kurang 35 unit usaha jasa laundry. Kebutuhan deterjen yang digunakan untuk satu usaha jasa laundry rata-rata 1,6 kg deterjen/hari untuk cucian sebanyak 72 kg baju/hari. Jika diasumsikan terdapat 35 buah usaha jasa laundry di Kecamatan Tampan, maka diperkirakan jumlah penggunaan deterjen mencapai rata-rata 56 kg/hari atau 1.680 kg detergen/bulan untuk Kecamatan Tampan.
Pemakaian air pada proses jasa laundry diperkirakan sebanyak 50 liter/3 jam yang digunakan untuk sekali cuci dengan pencucian sebanyak 4 kali perhari dan terdapat 3 mesin cuci. Dengan demikian jika diasumsikan 35 unit usaha jasa laundry di kecamatan dengan jumlah pemakaian deterjen dan air yang sama maka total kebutuhan air mencapai 630.000 liter (630 m3) perbulan yang sudah bercampur dengan 1.680 kg deterjen yang terbuang sebagai limbah cair kedalam suatu badan perairan.
Berdasarkan Deasi (2011) menyatakan bahwa dari hasil penelitian proses elektrokoagulasi dan filtrasi arang aktif, dimana nilai efektifitas penurunan TSS pada limbah cair laundry mencapai 58,33 %. Sedangkan untuk MBAS hanya mencapai 38,99 % dan untuk phospat mencapai 69,00 %. Kemudian Teguh (2011), menggunakan rancangan alat dengan proses yang sama tetapi filtrasi yang digunakan adalah pasir, dimana efektivitas penurunan TSS mencapai 63,69 %. Sedangkan efektivitas MBAS mencapai 31,88% dan phospat 71,47 %.
Dari hasil penelitian tersebut, didapatkan hasil penurunan yang berbeda untuk setiap parameter. Hal ini dikarenakan penggunaan rancangan alat elektrokoagulasi yang sama dengan media filtrasi yang berbeda. Penggunaan media filtrasi secara tunggal untuk arang aktif hanya memberikan efektifitas tertinggi sebesar 69% sedangkan pada pasir hanya memberikan efektifitas tertinggi 71,47%. Oleh karena itu, dalam penelitian ini digunakan kombinasi media filter dengan harapan bisa lebih menurunkan polutan limbah cair laundry
Untuk menghindari tercemarnya lingkungan yang diakibatkan pembuangan limbah yang tidak terkontrol, maka seharusnya setiap usaha diwajibkan memiliki unit pengolahan limbah. Untuk mengatasinya diperlukan suatu metode penanganan limbah yang tepat guna, terarah serta efisien. Salah satunya adalah dengan menggunakan proses elektrokoagulasi dan kombinasi arang aktif dan zeolit sebagai media filter.
Selain media elektrokoagulasi, media filter juga diperlukan untuk lebih memperkecil konsentrasi padatan limbah cair laundry yang sudah melewati proses elektrokoagulasi. Pada penelitian ini media filter yang digunakan adalah kombinasi arang aktif dan zeolit. Penggunaan kombinasi arang aktif dan zeolit dapat menyerap polutan yang terkandung dalam deterjen sehingga terjadinya penurunan kandungan  limbah cair laundry yang akan dibuang ke dalam perairan. Hasil dari pengolahan limbah cair laundry akan diujikan pada ikan Pantau (Rasbora argirataenia) untuk mengetahui kelulushidupannya.
Besarnya dampak yang diberikan deterjen dalam perairan menjadi pemikiran untuk melakukan pengolahan di usaha laundry sebelum dibuang ke lingkungan. Pengolahan limbah cair laundry dengan menggunakan proses elektrokoagulasi dan kombinasi media filtrasi ini diharapkan dapat membantu dalam mengurangi ataupun menurunkan senyawa-senyawa yang dapat mencemari lingkungan yang berasal dari deterjen.
1.2.   Perumusan Masalah
Besarnya jumlah limbah cair yang berasal dari berbagai polutan seperti deterjen yang masuk kedalam perairan mengharuskan untuk diadakannya pengolahan limbah cair laundry, agar konsentrasi polutan dalam limbah cair laundry dapat direduksi.oleh karena itu perlu dicari solusi pengolahan limbah yang baik dan tepat agar permasalahan diatas dapat diatasi. Salah satu metode pengolahan limbah yang cukup sederhana adalah dengan menggunakan proses elektrokoagulasi dan kombinasi media filter. Namun sejauh ini belum diketahui seberapa besar efektivitas elektrokoagulasi dan kombinasi media filter dalam mereduksi kandungan MBAS, TSS dan fosfat pada limbah cair laundry sehingga jadi menarik untuk dikaji.

1.3.   Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui jumlah konsentrasi polutan (MBAS, TSS, fosfat) dalam air limbah laundry dapat direduksi dengan proses elektrokoagulasi dan kombinasi media filter. Selain itu, air limbah laundry yang telah diolah dengan proses elektrokoagulasi dan kombinasi media filter sesuai untuk media hidup ikan Pantau (Rasbora argirotaenia).
Manfaat dari penelitian ini adalah dengan berkurangnya kadar TSS, MBAS dan fosfat dapat mengurangi beban limbah cair laundry di perairan sesuai dengan baku mutu. Selain itu, dapat menjadi awal konsep dalam pengolahan limbah laundry yang sederhana dan efisien serta dapat memberikan penjelasan akan bahaya limbah laundry bagi lingkungan dan cara mengolahnya.